“Dia
bisu Ra. Dia tidak bisa bicara. Itu penyakitnya sejak lahir”
“Darimana
kamu tahu Nil?”
“Aku
juga pernah bermain disini Ra.”
Aku termenung
sejenak memikirkan anak sekecil Arin yang masih polos, telah diberikan ujian
seberat ini. Mungkin jika aku di posisinya sekarang, aku tak tahu apa yang akan
aku lakukan dan tak mampu lagi tersenyum pada dunia. Namun inilah yang
dinamakan kekuatan hati, kekuatan yang tak semua orang memilikinya, kekuatan
yang hanya dimiliki oleh orang-orang hebat salah satunya adalah Arin.
Setelah bermain-main lama dengan mereka, kami beristirahat di sebuah tempat yang bisa dikatakan tidak layak untuk ditempati istirahat. Namun mau tidak mau hanya itu tempat yang lumayan bersih untuk ditempati duduk santai. Ku pandangi mereka semua dengan senyum tipis, terlihat dari wajah dan mata mereka bahwa mereka sangat lelah dan lapar. Lalu aku memutuskan untuk ke mobil untuk mengambil makanan yang sudah sopir pribadiku antarkan dan segera kembali ke tempat tadi.
“
Adik-adik ini makan siang buat kalian semua. Di makan ya”
“Terimakasih
kak Ira”
Serentak mereka mengucapkan terimakasih padaku, rasanya
hatiku sedikit bahagia dan lega untuk hari ini. Tapi ada yang aneh dari Arin,
dia sama sekali tidak membuka kotak makanan yang aku berikan. Aku mulai
mendekatinya dan membelai rambut panjangnya.
“Arin
kenapa tidak makan? enggak suka ya dengan makanannya?”
(bahasa
isyarat) “Tidak kak. Makanannya untuk ayah dan ibu saja dirumah. Arin enggak
apa-apa, kasihan ayah dan ibu tidak makan”
“Arin
makan aja ya. kakak masih ada makanan kok buat ayah dan ibu Arin”
Hatiku seakan terketuk sangat keras melihat seorang anak
kecil yang sangat menyayangi orang tuanya. Sedangkan aku, orang yang selalu
dilimpahkan materi, tidak pernah memikirkan orang tuaku sendiri. Tidak pernah
memikirkan keadaan mereka, apa yang terjadi pada mereka dan lain sebagainya.
Setelah selesai makan, satu per satu dari mereka kembali
ke rumah masing-masing dan aku mengikuti Arin untuk bertemu ayah dan ibunya
untuk memberikan mereka makanan. Ketika sampai disana, aku tidak menyangka
rumah itu hampir mirip dengan tempat pembuangan sampah. Begitu kecil dan mini,
sangat tidak layak ditempati.
Perlahan langkah kakiku memasuki rumah Arin. Kedua orang
tuanya memandangku penuh keramahan dan kasih sayang. Sesuatu yang sangat jarang
aku dapatkan dari orang tuaku sendiri.
“
Aduh, terimakasih banyak ya nak, udah ngantar Arin pulang. Maaf merepotkan”
“Enggak
apa pak,bu. Kami berdua sendiri yang mau mengantarkan Arin pulang. Oh iya, ini
makanan buat bapak dan ibu. Sekalian makan malam buat bapak,ibu dan Arin”
“Enggak
perlu nak. Aduh kami jadi malu.”
“Terima
saja pak,bu. Kami sangat bahagia jika bapak dan ibu mau menerimanya”
Aku dan Adnil memberikan beberapa kotak makanan untuk
makan malam mereka berdua. Ketika aku memandang mereka, mereka sangat bahagia
dan sedikit malu karena merasa dikasihani oleh kami.
Ketika melihat-lihat rumah Arin bersama Adnil dan juga
Arin, mataku tertuju pada sebuah gambar yang sangat indah yang serupa dengan
lukisan. Di gambar itu terlihat awan gelap gulita dan seorang anak kecil yang
duduk sendirian diatas bukit, tapi yang tak bisa ku pikirkan dengan akal sehat,
ada pelangi di malam hari. Aku bingung apa arti dari lukisan ini.
Aku langsung memukul pundak Adnil dan menyuruh dia menjelaskan
apa arti dari lukisan yang aku lihat. Mumpung Arin sedang asik mencari sesuatu
di sebuah tempat.
“Mungkin,
anak itu adalah Arin. Malam adalah gambar kehidupannya, yang kelam. Namun masih
ada segaris pelangi buatnya. Maksudnya, di kehidupannya yang kelam, dia masih
mempunyai beberapa hal yang bisa mewarnai hidupnya. Mungkin”
Aku merasakan bahwa Arin sangat mempunyai bakat dalam
bidang seni lukis. Aku akan membantunya untuk menyalurkan bakat luar biasa yang
ia miliki. Dan membuktikan bahwa orang yang selama ini rendah di hadapan
manusia yang ria, lebih berkualitas daripada mereka yang hanya bangga terhadap
materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar