Limpahan
materi menguasai kalbu, menggelapkan hati hingga menuju kekesombongan dan
keangkuhan yang luar biasa. Tak bisa memandang jauh di sudut kehidupan luas
ini, masih banyak terdapat insan-insan yang terseret dan terhempas pada
kenyataan hidup yang begitu pahit. Berusaha berdiri, ada yang berhasil dan
tidak hingga berurai airmata.Namun tak selamanya mendung itu kelabu.
Ku merenung di malamku yang sunyi sepi tiada kawan. Yang
hanya di temani bintang dan rembulan, ku pandangi setiap sudut rumahku yang
berdiri tegak, mewah dan seakan penuh dengan hiasan mahal. Semuanya seakan di
penuhi dengan materi yang melimpah ruah, dan membuatku menjadi anak yang di
besarkan oleh uang . Dan aku tidak menyukai itu !
Ku lihat suatu benda yang sering aku bawa kemana-mana,
yang selalu menjadi benda kesayanganku, yaitu kamera digital. Ku coba membuka
beberapa foto yang ku potret selama aku sering jalan diam-diam bersama Adnil
sahabatku mengelili kota Jakarta.
Aku berhenti dan termenung melihat satu gambar yang
menurutku sangat tidak layak untuk di tempati, tempat yang kumuh,kotor dan
pasti banyak wadah penyakit disana. Tapi seingatku, ini bukan gambar yang aku
ambil dan aku enggak pernah ke tempat ini. Pasti ini hasil potretan Adnil.
Kini seakan hatiku mulai terketuk oleh sebuah gambar seorang
anak yang sangat kumuh namun ia tetap bisa tertawa dan tersenyum bersama
teman-temannya. Sedikit aku berbisik pada hatiku.
“Tuhan,
di sini aku berdiri dengan kemewahan begitu melimpah, materi terlalu mencukupi
hidupku. Namun di sana di tempat yang begitu kotor, masih ada anak kecil yang
sangat memprihatinkan, Namun ia masih bisa tertawa dan tersenyum pada kejamnya
dunia. Sedangkan aku, seseorang yang di besarkan dengan uang seakan masih tidak
bisa melenggangkan hatiku menjadi bahagia”
Tanpa sadar, air mata kini mengalir di kedua pipiku ,
entah sejak kapan aku bisa sadar akan kejamnya dunia bagi sebagian manusia,
kejamnya ibu kota seperti Jakarta dan betapa kejamnya orang-orang yang
berfoya-foya dengan uang mereka dan materi mereka tanpa memikirkan orang-orang
yang sangat membutuhkan bantuan mereka. Aku tidak mau menjadi salah satu dari
mereka, aku tidak mau menjadi manusia yang memiliki hati yang gelap gulita
tanpa cahaya, karena jika itu terjadi, aku adalah orang yang sangat merugi. Ku
gapai handphone yang terdapat di kantong celana kananku, dengan perlahan ku
mencari nomor Adnil yang telah mendapatkan gambar ini, aku ingin sekali ia bisa
mengantarkanku ke tempat ini dan bertemu dengan anak kecil itu. Mumpung papa
dan mama sedang berangkat keluar negeri untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Setelah beberapa lama berbincang-bincang dengannya lewat
HP, ia pun menyetujui untuk mengantarkanku ke tempat yang ada di gambar ini.
Entah kenapa hati ini terasa begitu senang untuk segera menuju tempat itu.
***
Hari yang ku tunggu telah tiba, bergegas ku temui Adnil
dan segera meluncur bebas ke jalan raya untuk menuju tempat itu. Jalan yang aku
lalui sebelum sampai sangatlah susah, banyak bebatuan dan tanah yang becek,
aroma alam yang sangat menyengat karena sampah-sampah di pinggiran sungai serta
sungainya juga. Aku seakan tidak tahan dengan semua ini, rasanya segera ingin
pulang, namun aku harus bisa bertemu dengan anak itu. HARUS !
Dari dekat ku memandang, wajah anak kecil yang sedang
asik bermain dengan teman-temannnya, wajah yang tidak asing bagiku, dan
ternyata itu adalah wajah anak kecil yang ada di kamera digitalku. Segera ku
berlari tanpa memperdulikan batu dan tanah becek yang menghalangi jalanku.
Ketika sampai di sana, mereka langsung berhenti bermain dan serentak
memandangku dengan perasaan aneh.
“Kakak
siapa?pasti kakak orang kaya. Cantik banget deh”
“hah?
Kenalkan nama kakak Asyira. panggil saja Ira.hehe”
Satu persatu ku
jabat tangan dari mereka semua sambil tersenyum lebar, mereka juga seakan
senang bertemu denganku. Semuanya memperkenalkan diri mereka di hadapanku,
kecuali satu orang, yaitu anak yang ada di kamera digitalku. Aku menatap
matanya, tersenyum penuh kasih sayang padanya dan meminta dirinya untuk
menyebutkan nama. Namun ia hanya tersenyum dan menarik tangan kananku mendekat
padanya, perlahan jari kecil itu seakan menuliskan sesuatu yang ketika di
satukan menjadi sebuah nama “Arin” . Aku terhentak, kenapa dia tidak mau
berbicara sama sekali dan memberitahuku namanya dengan jarinya?
Ku coba memandanginya lagi, dan memintanya untuk bicara
satu kata saja. Namun ia tidak mau, ku memohon padanya dan akhirnya ia membuka
mulut dan menyebutkan namanya, namun tanpa suara. Apakah ia bisu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar